Other side of 3019 MDPL
Pekan UTS adalah pekan yang menyenangkan. Bagaimana tidak, segala laporan dan tugas perkuliahan sudah tidak lagi menghantui, dan proker keorganisasian pun ikut libur di pekan seperti ini.
Ujian hari ini sudah gw selesaikan, langsung saja langkah
kaki berjalan menuju sekretariat di fakultas kehutanan. Satu persatu orang yang
beres ujian kembali memenuhi sekret, sebagian lainnya ada yang balik untuk
memanfaatkan waktu untuk belajar.
Tak lama temen gw bernama rian datang, dialah salah satu
orang yang paling bersemangat kalau gw ajak berkegiatan gunung hutan.
“lu besok ada ujian gak” sahut gw
“Kosong, kamis baru mulai lagi” balas rian
“Pangrango asik sih...” sahut gw
“lu besok gak ada ujian? Kuy lah” balas rian
Langsung saja kami berdua berkemas, dan balik ke kosan untuk
mengambil barang, kami sepakat untuk berangkat setelah dzuhur.
Kami berangkat menggunakan angkutan umum untuk menuju daerah cisarua. Cuaca hari ini lumayan mendung, selama perjalanan pun hujan turun dengan derasnya.
Jam menunjukkan pukul 15.30 kami pun tiba di persimpangan
taman safari, langsung saja kami pindah ke angkutan pedesaan.
Setelah membayar ongkos, langsung saja langkah kaki dimulai,
suasana pegunungan sehabis hujan cukup memanjakan mata, terlebih udara yang
terhirup terasa sangat segar.
Perkebunan warga berganti perkebunan teh, langkah demi
langkah terus terlewati, hingga akhirnya kami tiba di pintu hutan. Jalan yang
kami lalui masih landai, bahkan lebih banyak turunnya dari pada naiknya, hingga
akhirnya kami sampai pada aliran sungai, kami pun memutuskan untuk menjalankan
solat ashar yang sudah telat ini.
Waktu sudah melewati jam 5, hari semakin sore dan tujuan
masih sangat jauh menjulang tinggi diatas sana, kaki pun kembali berjalan.
Sungai yang kami lalui cukup deras, punggungan yang kami
tuju berada di sebelah kanan.
“rasanya gak mungkin deh kita menaikin punggungan yang
sangat curam itu” sahut gw.
Sungai
Kami pun kembali orientasi mengenai posisi kami saat ini. Kami pun sepakat untuk menyeberangi sungai terlebih dahulu dan menaiki sedikit dari punggungan sebelah kanan.
Setelah melihat kondisi medan yang dihadapi gw kembali berjalan
di depan mengikuti kontur, karena tidak memungkinkan untuk menaiki tebing yang
vertikal, kalau kambing hutan mungkin bisa saja hehehe...
Tramontina di tangan mulai bergoyang goyang memotong segala tanaman
yang menghalangi jalan, tak lama kami menemukan jalan yang sebelumnya sudah
direncanakan, jalan kembali mulai menanjak menaiki punggungan, langkah kaki
semakin berat karena hujan kembali mengguyur kami.
Perjalanan semakin gelap, matahari mulai membagi sinarnya.
Kami terus menaiki punggungan hingga tiba di atas punggungan
dengan tempat datar yang lumayan luas.
Sebetulnya gw cukup benci dengan tempat landai yang luas,
karena menyulitkan dalam bernavigasi untuk mengetahui posisi kami. Gw pun terus
berjalan menuju arah selatan pada kompas.
Kembali kami menemui aliran air, sepertinya tidak memungkinkan berjalan di lembahan dalam kondisi gelap, kami memutuskan untuk berbalik dan memilih punggungan sebagai acuan berjalan.
Katak Merah
Kembali kami menemui aliran air, sepertinya tidak memungkinkan berjalan di lembahan dalam kondisi gelap, kami memutuskan untuk berbalik dan memilih punggungan sebagai acuan berjalan.
“gila, hari sudah semakin gelap tapi kita baru sejajar
dengan geger bentang” sahutku sambil memandangi puncak gegerbentang dari kejauhan.
Alat penerangan mulai digunakan, langkah kaki terus
berjalan. Sesekali gw beristirahat sambil membalikkan badan memandangi lampu
kota bogor diantara celah pepohonan.
Mendaki dengan kondisi badan yang kurang istirahat memang sangat
menyiksa, terlebih harus berjalan membelah malam, rasanya ingin gelar tenda
sambil menunggu pagi tiba.
Kondisi rian yang masih bersemangat mengejar target cukup
memotivasi untuk tetap melangkahkan kaki.
Tanpa gw sadari ternyata gw berbelok ke arah kiri dari
punggungan, terpaksa kami memanjat tebing dengan memegangi akar. Hal tersebut
ternyata terulang, kami membali melipir ke kiri dan ini lebih parah, tebingnya
cukup vertikal dan akar pohon yang menjadi pegangan bergoyang.
“Yan. Jangan dibawah gw, tunggu dulu, gak ada pengangan yang
kuat disini” sahut gw.
Gw takut tiba-tiba pohon yang gw pegang lepas dan terjadi
longsor, tak terbayang jika itu terjadi juram di bawah sana siap menerkam siapa
saja yang tidak berhati-hati. Rupanya rian terus membuntuti gw hingga kami
kembali berada di punggungan.
Perjalanan kembali dilanjutkan dengan mengikuti punggungan,
kaki ini sangat berat untuk terus berjalan, gw terus berharap agar mendapat
tanah lapang untuk bermalam, tapi hal itu sulit didapatkan, tanah miring terus
menemani perjalanan.
Langkah demi langkah terus terlewati, rasa lelah terbayarkan
karena kami tiba di persimpangan dengan jalur pasir pangrango.
Jam menunjukkan pukul 20.30, rupanya belum cukup malam.
Langsung saja kami mendirikan tenda untuk bermalam. Naluri sebagai manusia yang
lapar muncul, langsung saja di rebus 2 bungkus indomie yang sebelumnya belum pernah gw makan, ini mie si rian bawa dari riau kampung halamannya, dan rasanya
enak parah gila (efek kelaparan juga sih ckck...). Langsung saja kami akhiri
malam ini dengan beristirahat.
Matahari mulai menerangi tenda melalui celah pepohonan, kami
pun kembali masak 2 bungkus indomie yang tersisa ditemani dua butir telur.
Pendakian ini memang menggunakan tenaga indomie wkwkwk.
Setelah mengisi perut langsung kami berkemas dan melanjutkan
perjalanan. Perjalanan melewati satu
punggungan yang pemandangannya sangat indah beuh... Setelah punggungan jalan
kembali turun, hingga akhirnya kami bertemu dengan tanjakan terakhir menuju
mandalawangi, ya... Leher pangrango kini menjulang di depan mata.
Langkah demi langkah terus berjalan, hanya tanjakan panjang yang
kami dapati, tanaman beri menemani di sepanjang jalan, gw cemililah ekwkwk. Begitu
membalikkan badan kami takjub dengan pemandangan yang didapati, hari ini sangat
cerah.
Ketinggian mulai mencapai 2800 mdpl, kaki semakin
bersemangat untuk menemui mandalawangi. Tanjakan yang panjang pun ujungnya mulai
terjawab, kami tiba di tempat yang landai yang menandakan mandalawangi tinggal sedikit lagi.
Jalan pun perlahan mulai turun dan... Beuh...
"Mandalawangi men..." Gungam gw
Langsung saja gw mengambil air untuk persediaan minum. Cukup lama kami menikmati indahnya mandalawangi.
Mandalawangi
Jalan pun perlahan mulai turun dan... Beuh...
"Mandalawangi men..." Gungam gw
Mandalawangi
Mandalawangi
Langsung saja gw mengambil air untuk persediaan minum. Cukup lama kami menikmati indahnya mandalawangi.
Setetelah puas menikmati mandalawangi, kami melanjutkan
untuk menuju puncak pangrango.
Puncak gede terlihat di seberang sana, cukup menggoda, tapi kami harus pulang karena esok pagi kami harus mengikuti ujian.
Gunung Gede dari Puncak Pangrango
Puncak gede terlihat di seberang sana, cukup menggoda, tapi kami harus pulang karena esok pagi kami harus mengikuti ujian.
Setelah puas memandangi puncak gede kami langsung turun
menuju kandang badak, kandang badak cukup sepi, berbeda kondisi nya jika
weekend tiba. Isi botol mulai diganti, karena kondisi air yang diisi di mandalawangi
meragukan di musim kemarau ini.
Asik beristirahat sambil mengobrol kami dihampiri lelaki
dengan menawarkan tiga potong roti, langsung saja kami sikat semua roti itu,
s
iapapun itu thanks ya brooo...
iapapun itu thanks ya brooo...
Kami melanjutkan jalan turun hingga akhirnya kami tiba di
cibodas dan langsung saja kami hampiri warung nasi untuk mengisi perut yang
berenergi indomie ini wkwkwkwk...
Komentar
Posting Komentar